Laman

Sabtu, 06 Juni 2009

MBAH DACHLAN KYAI YANG SANTUN

“Kekasyafan, kekaromahan, dan power kewalian seseorang justru terkadang lebih tampak setelah ia meninggal.” (Imam Ghazali). Memperbincangkan KH. Dahlan Salim Zarkasyi, tentu kita tidak bisa lenggang begitu saja tanpa menyinggung Metode Qiraati, sebagai hasil penelitiannya (selama kurang lebih sepuluh tahun) di bidang pengajaran baca al Quran. Sementara mendiskusikan Metode Qiraati pula kita tidak bisa meninggalkan aturan main baca al Quran (ilmu Tajwid). Al Quran adalah kalam Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril, dan diteruskan kembali kepada umat seluruh alam. Kitab suci, sebagai kebenaran kerasulan Muhammad saw, tertulis dalam bentuk mushaf yang mutawatir, juga muta’abbad bi tilawatih (berpahala jika dibaca). Diturunkan secara berangsur selama kurang lebih dua puluh tiga tahun dalam dua periode, Makah dan Madinah. Dalam kurun waktu lebih dari 14 abad lamanya Kitab Suci tersebut dibaca dan dipelajari. Dibaca karena sebagai petunjuk dan obat (hudan wa syifa), sedang dipelajari guna meraih petunjuk dan obat. Yang membaca dia akan mendapatkan petunjuk, yang mempelajari dia akan menemukan obat / formula, sedangkan yang membaca dan mempelajarinya dia akan sampai pada keduanya, yakni petunjuk dan obat / formula. Salah satu obat atau formula adalah lahirnya ilmu Tajwid. Tajwid terambil dari jawwada, berarti pembagusan atau perbaikan bacaan. Kata ini mengisyaratkan pada kita bahwa “perbaikan” adalah sebuah kewajiban. Kewajiban yang tiada henti. Usaha secara terus menerus yang mungkin tiada akhir. Namun ukurannya bisa sangat sederhana yaitu hari ini lebih baik dari hari kemarin. Makna tajwid secara teknis menjadi, mengucapkan setiap huruf secara benar hingga tidak meninggalkan sifat-sifatnya, seperti istifal-isti’la’, hams, dan jahr. Juga syiddah-rakhawah dimana saat melafadzkannya akan muncul ketentuan-ketentuan seperti tarqiq-tafkhim, idhar-idgham, mad dan lain sebagainya. Karena itu, mengetahui tajwid adalah menumbuhkan seni baca Kitab Allah, melestarikan keindahannya dengan ke-fashih-an dari awal baca sampai akhir dan berhenti (waqaf). Dengan demikian, yang ngaji akan terjaga lisannya dari kesalahan dan berpahala. Begitulah kiranya Ibn Jazari (751-833 H.) berpendapat bahwa hukum membaca al Quran dengan mujawwad murattal adalah wajib. Pendapat ini beliau rangkum dalam barisan syair merentang sepanjang bait 71-74 dalam karya monumentalnya Matan Jazariyah : ?????? ???????? ??? ???? * ?? ?? ???? ?????? ??? ???? ?? ????? ????? * ????? ??? ????? ???? ?? ????? ?????? ???? * ?? ??? ??? ???????? ????? ?? ??? ?? ???? * ?????? ?? ????? ??? ???? Sedangkan Metode Qiraati adalah sebuah cara mengajar baca al-Quran secara baik dan benar (mujawwad murattal). Metode ini terangkum dalam bentuk buku-buku kecil berkelompok yang disesuaikan dengan kaidah ilmu Tajwid. Karena itu, siapapun yang membaca buku tersebut akan menemukan sebuah harapan, bahwa ia akan dapat membaca secara mujawwad murattal. Membaca tanpa meninggalkan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh ilmu Tajwid, meskipun orang tersebut belum pernah belajar ilmu Tajwid. Namun perlu disadari, sebaik apapun sebuah metode mengajar cara baca al Quran jika tidak diimbangi dengan guru-guru yang baik maka hasilnya pun kurang maksimal. Demikianlah yang dinginkan KH. Dachlan Salim Zarkasyi, yakni, mencetak anak-anak yang baik (bacaannya) melalui guru-guru yang baik (bacaannya) pula. Inilah salah satu alasan manarik kenapa biografi beliau diperbincangkan. Pada awalnya KH. Dahlan Salim Zarkasyi sendiri kurang setuju perihal hukum baca al Quran dengan baik dan benar adalah fardlu ‘ain (semacam beban hukum (kewajiban) yang dikenakan pada setiap orang). Sementara mempelajari Ilmu Tajwid adalah fardlu kifayah (gugurnya beban hukum (kewajiban) yang jika ada seseorang telah melakukan). “Bagaimana mungkin seseorang dapat membaca al Quran dengan baik dan benar jika tidak mengetahui hukum tajwidnya.” Pertanyaan ini kemudian Beliau ajukan ke beberapa Kyai ahli al Quran di Jawa Tengah. Dari sini beliau dapat bekal berupa bukti-bukti dan argumentasi yang kemudian dijadikan sebagai dasar pola penyusunan Buku Metode Qiraati. Hal lain yang patut kita perhatikan dari KH. Dachlan Salim Zarkasyi adalah mengenahi kritiknya terhadap dunia pendidikan. Sebagian besar guru masih menganggap bahwa anak adalah objek pendidikan, bukan pelaku. Padahal sebenarnya mereka adalah pelaku, yang belajar bukan yang diajar. Karena jika anak-anak sebagai pelaku, maka setiap anak memiliki kesempatan untuk bisa. Kemampuan untuk menyerap ilmu yang disampaikan para guru. Oleh karena itu, KH. Dachlan Salim Zarkasyi menyimpulkan bahwa tidak ada anak yang tidak bisa belajar, tapi yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar. Karena itu jangan heran jika di “lingkungan” Qiraati kualitas guru sangat diperhatikan. Saya pernah bertanya mengenahi damonan, resep keberhasilan Beliau dalam mengajar. Ternyata, jawabannya pun sangat sederhana. Jauh, di luar apa yang saya pikirkan. Selain seorang guru harus selalu sabar, syukur, dan ikhlas. Seorang guru juga harus mampu mengatakan bahwa, “aku butuh mengajar.” Sabar, syukur, dan ikhlas. Tiga kata ini memang sangat mudah dikatakan, mungkin tak semudah pelaksanaannya. Tapi jika ada kemauan, toh jalan pasti akan terbuka. Jika kita mau merenung sebentar, Tiga sifat tersebut memang sudah seharusnya dimiliki siapa saja yang berjiwa “mendidik.” Sikap (sabar, syukur, dan ikhlas) ini merupakan buah dari bentuk tirakat seorang pendidik. Tirakat adalah meninggalkan hal-hal yang selayaknya tidak dimiliki, dilakukan, atau dibiasakan oleh seseorang. Di sini, bukan ketika sifat itu harus ditinggalkan, melainkan guru seyogyanya membuang jauh-jauh sikap-sikap yang berlawanan dengan ketiga sifat tersebut. Ketiga sifat itu harus selalu ditumbuhkan dan dijaga. Singkatnya, jika ketiga sifat ini dipraktekkan, maka orang tersebut akan segera menyadari posisi sebenarnya. Bahwa tugas guru hanyalah menemani dan mengarahkan, bukan yang menentukan atau pemberi otoritas ilmu. Dengan demikian, jika proses belajar selesai, semua dititipkan dan diserahkan kembali kepada Allah Yang Maha berilmu. Maka yang terjadi seorang guru tidak akan pernah lewat mendoakan murid-muridnya. Karena itu wajar jika keberhasilan KH. Dahlan Salim Zarkasyi selalu diiringi dengan sikap tawadlu’ yang selalu kita ketahui dari dawuh-dawuh Beliau, “ini semua inayah (pertolongan) Allah…, ini semua kersane (kehendak) Gusti Allah…”. “Aku butuh mengajar.” Pernahkan kita berpikir demikian, terucap di dalamnya hati. Coba kita renungkan pesan KH. Dahlan Salim Zarkasyi ini. Siapapun yang butuh, dia akan tergerak dan bangkit. Berusaha meraih sekuat tenaga terhadap apa yang ia butuhkan. Pesan tersebut bukanlah sembarang pesan, tapi sebuah motivasi tingkat tinggi. Saudara, renungkanlah! *** Tidak banyak pola penulisan biografi dibungkus dengan kado ala cerpen (cerita pendek) seperti buku yang ada di tangan pembaca saat ini. Tampil dengan wajah yang berbeda, buku ini mengikat dan seperti tidak mau meninggalkan setiap detik yang telah dilakoni KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Abu bakar dengan gayanya sendiri, lincah dan berhasil menampilkan kembali setiap kisah dari KH. Dachlan Salim Zarkasyi menjadi nyata dan hidup. Capek dan berkeringat. Empati dan menggugah. Maju dan menerobos. Pilihan kata yang cerdas juga telah mengungkap kepermukaan sisi-sisi lain kehidupan KH. Dachlan Salim Zarkasyi selain sebagai guru ngaji. Lugas bertutur namun sederhana, membuat buku ini mudah diikuti dan diingat. Membaca biografi ini, anda akan mendapatkan banyak pelajaran. Di setiap tema yang disuguhkan mengandung hikmah yang menggugah kesadaran kita yang terpendam. Sehingga rasanya eman melewatkan meskipun hanya satu anak judul. Lihat saja di setiap bagian-bagiannya, dimana dengan sengaja pola penulisan dikelompokkan se-demikian rupa supaya pembaca lebih mudah mengenali KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Sementara dibagian akhir pembaca akan mendapati gambar-gambar dan rujukan-rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan supaya pembaca sekalian lebih yakin tentang sosok penemu Metode Qiraati. Buku “Aku Butuh Mengajar, Dachlan Salim Zarkasyi Bapak TK al Quran” ini adalah buku awal untuk memperkenalkan pribadi yang gigih, peneliti yang ulet, seorang Ayah yang berteman, sederhana, empati, dan cinta dunia anak. Pada bagian awal dan kedua mengisahkan tentang kegigihan dan keuletan Dachlan kecil. Suasana politik yang kacau dan negara dalam penjajahan, mengakibatkan perekonomian bangsa ambruk terseok-seok. Kondisi inilah yang merebut keindahan masa kanak-kanak dan remajanya. Ia harus bersabar karena bekerja, meskipun pada penjajah. Kemudian, pertemuannya dengan para Kyai Sepuh membuat perubahan total dalam berpikir dan menyikapi kehidupannya. Apalagi setelah menyaksikan di beberapa tempat, musolla-musolla, masjid-masjid, dan tempat-tempat pengajian lain masih dijumpai banyaknya kesalahan dalam membaca al Quran. Hal inilah yang menggerakkan Beliau untuk meguru dan menyulap rumahnya menjadi laboratorium. Setelah sepuluh tahun melakukan penelitian, uji coba lapangan, Beliau menemukan satu formula. Suatu susunan bentuk tetap. Satu rumusan cara mengajar baca al Quran dengan baik dan benar. Kontan, semua pekerjaan dan kesibukan yang menggelayut pada pundaknya, Beliau tinggalkan. Walaupun sebagai pedagang beliau sukses. Meski sebagai tukang pijat beliau pun telah dipercaya. Pembaca dapat menyimak cerita ini pada bagian ketiga sampai ke lima. Ada beberapa kemungkinan kenapa muncul rasa empati pada hati kita. Empati adalah keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Rasa ini muncul jika kita menyadari betul bahwa kehidupan ini adalah amanah. Titipan yang tidak kemudian kita gunakan dengan semau-maunya. Tapi menggunakannya sebagai bahan pertanggungjawaban kelak di hadapan Sang Khaliq. Rasa ini juga dapat muncul jika dalam kehidupan seseorang pernah di-ampiri kepayahan, kesulitan, atau persoalan lain yang bebannya sama. Sikap empati yang dipraktekkan KH. Dachlan Salim Zarkasyi dengan keberpihakkannya pada para tunanetra yang ditampung dirumahnya adalah bukti keberhasilannya menghayati makna amanah kehidupannya, baca bagian keenam sampai ketujuh. Tidak cukup disitu, beliau juga mengajari para tunanetra itu dengan belbagai ketrampilan yang kelak dapat menopang kehidupan mereka, tanpa harus meminta lagi belas kasihan pada orang lain. Juga tetang konsep bersedekah Beliau yang justru sering diremehkan orang. Tepat dibagian akhir, pembaca akan menikmati beberapa cerita unik sebagai hidangan penutup. Banyak yang mengatakan bahwa KH. Dachlan Salim Zarkasyi meiliki daya linuwih. Fakta telah banyak berbicara, dimana kasus-kasus terjadi bukan karena kebetulan semata. Justru sebaliknya, kejadian-kejadian janggal tersebut semakin menjelaskan bahwa beliau “tajam rasa” atau ngerti sak durunge winarah, tahu sebelum hal itu terjadi. Suatu saat, setelah Beliau menerima tamu, Beliau pernah berujar pada putra-putrinya, “tamu-tamu itu akan lebih banyak lagi setelah aku meninggal.” Akhirnya, meskipun lebih terkesan sebagai catatan berserak, semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, juga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sosok KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Bagi mereka yang kebetulan bergelut dibidang yang sama, yakni sebagai guru ngaji, semoga buku ini bisa menjadi semacam inspirasi. Jakarta, 20 Dzul Qa’dah 1428 H. /29 November 2007 Abdullah Hadlir