Laman

Kamis, 07 Mei 2009

Menggagas Paradigma KH. Dahlan Salim Zarkasyi

Keharusan membaca al-Quran dengan tartil
Sejalan dengan institusionalisasi pengajaran al-Qur’an (setelah proses unifikasi bacaan al-Qur’an), berkembang ilmu spesifik pembacaan al-Qur’an yang dikenal sebagai tajwid (dari kata jawwada, membuat sesuatu menjadi lebih baik).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn4 Lebih jauh lagi, ash-Shaffat mengutip dari syarh jazariyah dan al-Itqan mengungkap empat cara baca yang dianggap bid’ah.
Pertama, at-tar’id (berguruh) yakni mengguruhkan suara sebagaimana orang kedinginan atau kesakitan. Kedua, at-tathrib (kegirangan), merupakan lawan dari yang pertama, membaca dengan “mendendang” hingga melalaikan yang seharusnya dibaca pendek-dipanjangkan atau sebaliknya karena gramatika bahasa Arab tidak pernah membolehkannya. Ketiga, at-tahzin (ekspresi sedih), kurangnya menghayati sisi dalam makna al-Qur’an. Keempat, at-tarqish (menari-nari/banyal gerak) hendaknya membaca dengan diam dan menghayati.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn5 Oleh karenanya benar kiranya jika Ibnu al-Jazari (w. 833/1429) menghukumi ‘wajib’ menggunakan Ilmu Tajwid dalam membaca al-Qur’an demi menjaga keagungan Kitab Suci selain menjadi kitab yang ditafsirkan juga kitab yang dibaca. Dalam karyanya Matan Jazariyah tepatnya pada bait ke-27 berbunyi :
والأخد بالتجويد حتم لازم * من لم يجود القرأن اثم
“Menggunakan atau mengamalkan Ilmu Tajwid merupakan kewajiban yang pasti (fardhu ‘ain), siapa saja yang tidak memperbaiki bacaan al-Qur’an ia melakukan sebuah kesalahan (dosa).”http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn6
Dalam hasanah literatur Islam, selain Tajwid, terdapat beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu spesifik pembacaan al-Qur’an, yaitu:
a. Tartil, berasal dari kata rattala, “melagukan,” “menyanyikan,” yang pada awal Islam hanya bermakna pembacaan al-Qur’an secara melodik, menjelaskan bahwa tartil mencakup pemahaman tentang pausa dalam pembacaan dan artikulasi yang tepat huruf-hurf hijaiyah. Dewasa ini, istilah tersebut tidak hanya merupakan suatu terma generik untuk pembacaan al-Qur’an, tetapi juga merujuk kepada pembacaannya secara cermat dan perlahan-lahan. Selain tiu ada dua kategori lain metode membaca al-Qur’an, adalah hadr, pembacaan secara cepat, dan tadwir, pembacaan dengan kecepatan sedang.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn7
b. Tilawah, berasal dari kata tala, “membaca secara tenang, berimbang dan menyenangkan.” Di masa pra-Islam, kata ini digunakan untuk merujuk pembacaan syair. Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana pendengungan atau pelaguan yang disebut tarannum.
c. Qira’ah, berasal dari kata qara’a, “membaca,” yang mesti dibedakan penggunaannnya untuk merujuk keragaman bacaan al-Qur’an. Di sini, pembacaan al-Qur’an mencakup hal-hal yang ada dalam istilah-istilah lain, seperti titi nada tinggi rendah, penekanan pada pola-pola durasi bacaan dan lain-lain.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn8
Secara historis, pembacaan al-Qur’an (sebagaimana dituju dalam Tajwid) telah dimulai pada masa awal Islam. Muhammad Talbi mengemukakan bahwa generasi pertama Islam telah melantunkan al-Qur’an dengan lagu yang sangat sederhana.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn9 Tetapi, setelah berkembang menjadi suatu disiplin, ilmu tentang seni baca al-Qur’an ini telah menjadi basis teoritis dan praksis pengajaran al-Qur’an di berbagai belahan dunia Islam.
Ada banyak sekali karya teknis yang sudah diterbitkan selama berabad-abad, yang erat berkaitan dengan bidang-bidang pembahasan tentang ragam bacaan al-Qur’an (qira’ah) dan cara-cara membaca al-Qur’an secara benar (tajwid). Ilmu-ilmu ini telah sampai pada tingkat kematangannya pada abad ke-4 H./10 M., seperti yang ditujukkan oleh beberapa risalah mengenainya, dan terus dikembangkan serta diartikulasikan hingga mencapai tingkat yang tertinggi dalam hal pengungkapannya secara sistematis dan komprehensif dalam karya-karya Ibnu al-Jazari (w. 833/1429).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn10 Karya-karya ini lebih mengkonsentrasikan diri pada aliran-aliran bacaan, penguasaan atas huruf-huruf atas suara-suara (dan teknik-teknik menghasilkannya lewat aparat-aparat vokal), perhentian dan permulaan (al-waqf wa al-ibtida’), percampuran suara (idgham), persengaungan (ghunnah), dan lain-lain. Selain itu bahan-bahan ini sekali-kali menyertakan pendahuluan yang berisi pembahasan mengenai adab membaca al-Qur’an, seperti kapan harus berhenti membaca, apa yang harus dilakukan ketika kita telah khatam al-Qur’an, tempat-tempat dan waktu-waktu mana yang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an, apa manfaat al-Qur’an dan membacanya dan lain-lain.
Selain buku-buku para sarjana Muslim yang membahas mengenai beberapa aturan teknis membaca al-Qur’an (seperti Ibn al-Jazari, asy-Syatibi, as-Suyuti dll.) juga terdapat sebuah karya cukup komprehensip menjelaskan tentang adab membaca al-Qur’an. At-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, karya dari Muhyi al-Din Abu Zakariya Yahya al-Hizami al-Dimasyqi (631-676 H./1233-1277) M.).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn11
b. Perkembangan Metodologi mengajar baca al-Quran
Nabi Muhammad saw. Bersabda,
“Belajar al-Qurán-lah dari empat orang, yakni Abdullah Ibnu Masúd, Salim bin Ma’qil, Muádz, dan Ubay bin Kaáb”. http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn12
Empat sahabat yang telah direkomendasikan Nabi tersebut dalam beberapa catatan sejarah memang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan yang lain. Misalnya Ubay bin Ka’ab adalah seorang Anshar dari Banu Najjar. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu. Dalam beberapa hal, otoritasnya tentang masalah-masalah al-Qur’an bahkan lebih besar dari Ibnu Mas’ud. Selain itu ia juga dikenal sebagai sayyid al-Qurra’ (pemimpin para pelafal/penghafal al-Qur’an).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn13 Ibnu Mas’ud, ia merupakan salah satu otoritas terbesar dalam al-Qur’an. Hubungannya yang intim dengan Nabi memungkinkannya mempelajari sekitar 70 surat langsung dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang yang pertama kali membaca bagian-bagian al-Qur’an dengan suara lantang dan terbuka di Makkah, meskipun banyak tantangan dari orang Quraisy.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn14
Empat sahabat tersebut disamping memiliki kelengkapan data al-Quran juga kompetensinya dalam hal teknis, meskipun pada masa ini, problem qira’ah (pola baca) lebih mendominasi dibandingkan dengan masalah kefashihan atau teknis (tajwid). Imam Suyuti mengomentari bahwa hal ini disebabkan karena para sahabat memiliki tingkat kefashihan yang cukup, selain itu al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn15 Namun demikian, dalam hal teknis Nabi tidak pernah melewatkan nasihat-nasihat (stimulasi) terhadap sahabat-sahabatnya. Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah berbunyi:
Nabi bersabda, “Siapapun yang menginkan belajar al-Qur’an dengan baik sebagaimana diturunkan, maka hendaklah membaca sebagaimana qira’ah Ibnu Ma’ud. Yakni dia yang diberikan karunia yang agung oleh Allah dalam menjaga keindahan (tajwid) al-Qur’an.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn16
Sebuah Hadits diriwayatkan oleh Hakim dengan silsilah shahih dari al-Bani berbunyi:
Rasulullah saw. bersabda, “Gunakanlah suara terbaikmu untuk membaca al-Qur’an, karena dengan suara indah itu akan menambah keindahan pada al-Qur’an.”http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn17
Nabi juga tak henti-hentinya memberikan stimulasi-stimulasi pada para sahabatnya agar lebih giat membaca, mengamalkan serta mengajarkan al-Qur’an. Hadis yang diriwayatkan oleh Usman bin ‘Affan berbunyi:
Rasulullah saw. berkata: “sebaik-baik kalian ialah orang yang belajaral-Qur’an dan mengajarkannya.”http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn18
Dari stimulasi dan anjuran Nabi tersebut pernah menjadi perhatian dan mendapatkan respon posistif di hati kaum Muslimin. Pada awal abad ke 8 H. kaum Muslimin mulai mengajarkan anak-anak mereka menghafalkan al-Qur’an. Praktek semacam ini biasanya dihubungkan dengan hadis-hadis tertentu Nabi atau dengan praktek generasi awal. Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’I (w. 820 H.), pendiri mazhab Syafi’iyah, misalnya, dikabarkan telah menghafal secara keseluruhan al-Qur’an ketika berusi tujuh tahun. Bahkan terdapat penekanan yang tegas pada pentingnya pembelajaran al-Qur’an dalam usia belia. Dikabarkan bahwa salah satu khalifah banu Umaiyah, Hisyam bin Abdul Malik (w. 743 H. ), setelah menunjuk Sulaiman bin al-Kalbi sebagai tutor agama anaknya, memberinya petuah: “Nasihatku yang pertama kepadamu adalah upayakanlah agar ia (anak-anakku) belajar Kitab Allah. Setelah itu barulah Engkau bisa menyampaikan kepadanya karya-karya puitis pilihan.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn19
Dengan demikian, jelas, tradisi kaum Muslimin memberikan tempat yang sangat khusus kepada pembacaan atau penghafalan al-Qur’an. Asy-Syatibi (w. 590 H.) misalnya, dalam sistem pengajaran al-Qur’an dan Qiraah mengharuskan murid-muridnya yang hendak mengajarkan al-Qur’an menghatamkan secara keseluruhan tiga kali pembacaan al-Qur’an menurut masing-masing qiraah dalam bacaan tujuh –setiap kalinya menurut dua versi (riwayah) dari tiap-tiap qiraah-, kemudian sekali lagi dengan mengumpulkan kedua versi itu secara bersama-sama (jam’). Jauh sebelum masa asy-Syatibi, tuntunan yang diajukan pengajar al-Qur’an lebih berat lagi. Al-Hushri (w. 486 H.), mengharuskan 70 kali penghataman tujuh bacaan kanonik. Di samping itu, dalam proses pembelajaran ini, mata rantai periwayatan tiap-tiap qiraah mesti dikuasai.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn20
Selama berabad-abad telah muncul di berbagai wilayah Islam sekolah-sekolah khusus yang mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak kaum Muslimin, baik dengan tujuan agar mereka “melek” baca al-Qur’an atapun mampu menghafalkannya. Secara historis, sekolah semacam itu pertama kali diinstruksikan pembangunannya oleh khalifah umar bin al-Khattab. Sebelumnya, pengajaran al-Qur’an bagi anak-anak hanya merupakan urusan pribadi kaum Muslimin, dan biasanya orang tua mengajarkannya secara private.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar