Laman

Sabtu, 28 November 2009

Adab Tilawah


PDF Print E-mail
Written by Hadlir
Tuesday, 20 October 2009 10:44

Adab Membaca Al-Quran

Hadlir


Al-Quran adalah kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril yang kemudian diteruskan kepada Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada seluruh umat. Yakni tidak hanya sebatas manusia saja melainkan menyeluruh “rahmatan lil ‘alamin” ke segenap alam. Baik alam gaibah (non fisik) ataupun alam basyariyah (fisikal).


Al-Quran adalah satu di antara dua peninggalan Nabi (al-Quran dan al-hadis) dimana seorang hamba tidak akan pernah tersesat dalam mengarungi kehidupan ini selama berpegang teguh padanya. Karena itu dalam beberapa sabdanya nabi Muhammad saw tak henti-hentinya memotifasi umatnya agar selalu menjadikan al-Quran sebagai bacaan utama.


Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, Nabi saw menggambarkan bahwa derajat seorang hamba kelak di hari kiamat bergantung pada seberapa gemar, seberapa banyak, serta seberapa istiqamahkah seorang hamba membaca dan mengamalkan al-Quran.

Bacalah, dan terus tambah kualitas dan kuantitas bacaanmu, karena derajatmu di akhirat bergantung pada bacaanmu di dunia.”


Dalam kesempatan lain pun Nabi saw berkata kepada para sahabat, “sesungguhnya Allah SWT memiliki keluarga (dari golongan manusia) di dunia ini.” Setelah berkata demikian, kontan, para sahabat bertanya dengan penuh penasaran. “siapakah mereka ya Rasulallah?.” Lalu Nabi saw menjawab, “mereka adalah para ahlul quran (gemar membaca dan mengamalkan al-Quran), mereka semua adalah keluarga Allah yang di khususkan.” (hadis riwayat Anas ra.) Rasanya tidak ada the best family selain menjadi keluarga Allah SWT. Maka masih layakkah jika seorang hamba berpaling lalu mencari keluarga lain selain menjadi bagian dari keluarga besar-Nya.


Masih banyak motifasi dan informasi lain tentang keistimewaan membaca al-Quran dari Rasulullah saw yang menjelaskan begitu tinggi dan mulianya al-Quran. Dimana posisi al-Quran tak tergantikan (selain sebagai bacaan primer) pun sebagai sumber dan pedoman hidup. Oleh karena itu, wajar jika ulama menjastifikasi bahwa membaca al-Quran memiliki unsur ibadah “muta’abbad bi tilawatih.” Yakni berpahala jika dibaca dan dosa ketika tidak membaca atau bahkan salah saat membaca. Dari sinilah para ulama merancang beberapa kaidah dan ilmu-ilmu (seperti ilmu tajwid dan qiraah) supaya para pembaca al-Quran lebih berhati-hati dan meminimalisir kesalahan. Namun, tidak hanya cukup di sini saja. Para ulama pun telah merangkum dan menetapkan beberapa tata cara atau adab saat membaca demi menjaga sisi keagungan, kesucian, dan kesakralan al-Quran.

Adab yang dimaksud antara lain;

a.

Adab yang dimaksud antara lain;

  • Hendaknya pembaca dalam kedaan suci dari hadas besar (jinabat) ataupun kecil, berwudhu. Sebagian ulama berpendapat bahwa membaca al-Quran adalah se-utamanya dzikir. Yaitu salah satu bentuk munajat antara seorang hamba dan Tuhannya. Karena itu seorang hamba supaya suci dhohir batin. Demikian pula sebagaimana tidak diperkenankannya dalam kondisi berhadas membawa atau bahkan menyentuh al-Quran, kecuali dalam kondisi dhoruroh.
  • Memilih tempat yang suci saat membaca atau ketika meletakkannya
  • Menghadap kiblat. Alasannya, membaca bagian dari ibadah, sedangkan menghadap kiblat mengindikasikan lebih terkabulnya sebuah munajat
  • Membersihkan mulut terlebih dahulu (gosok gigi atau semacamnya) karena dari mulut itulah nantinya akan keluar ayat-ayat suci. Nabi bersabda, "sungguh mulut-mulutmu adalah jalan keluarnya ayat-ayat al-Quran, maka bersihkanlah terdahulu dengan siwak (gosok gigi)."
  • Menyelami makna dan maksud yang terkandung di dalamnya. Karena tujuannya bukanlah terhenti di fase "membaca" melainkan meningkat ke fase "pengamalan." Sebagaimana yang difirmankan dalam surat shad: 29. "ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran." Hudzaifah ra menceritakan suatu malam saat bersama Rasulullah saw. "malam itu saya shalat bersama Rasulullah saw, beliau memulainya dengan membaca surat al-Baqarah, Ali Imran, dan an-Nisa. Surat-surat tersebut dibacanya dengan rapi dan dialogis. Setiap kali melewati ayat tasbih, maka beliau bertasbih. Ketika melewati ayat tentang pertanyaan, beliaupun bertanya. Dan ketika membaca ayat ta'awudz, maka beliaupun memohon perlindungan pada Allah SWT."
  • Membaca dengan sepenuh hati, dengan suara yang terbaik. "hiasilah al-Quran dengan indahnya suaramu." Begitulah anjuran Nabi saw.
  • Makruh hukumnya saat membaca diselingi bercakap dengan yang lain, kecuali dalam keadaan dhorurot. Ini disebabkan karena tiada 'kalam' yang lebih sempurna melainkan 'kalamullah'. Tidak ada percakapan yang paling indah selain bercakap dengan Allah rabbul 'izzah. Dalam kitab shahih, Ibn Umar ra bercerita, "bahwa Rasulullah saw tidak akan bicara dengan yang lain sebelum bacaannya usai." Dan sebenarnya para pembaca al-Quran itu sedang berdialog dengan Allah SWT. Sabda Nabi saw, "siapa saja yang hendak berdialog dengan Allah SWT, maka bacalah al-Quran." Bahkan bagi pembaca al-Quran tidak diperkenankan menjawab salam seseorang sebelum bacaannya selesai.
  • Bagian dari adab membaca yaitu hendaknya para qari' membaca secara berurutan, sebab demikianlah turunnya al-Quran (tauqifi). Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibn Mas'ud, "suatu saat Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat yang cara membaca al-Qurannya secara acak, random. Lalu beliau menjawab bahwa yang demikian itu menandakan akan lemahnya hati orang tersebut."
  • Wajib menyimak atau mendengarkan dengan seksama di saat al-Quran di baca. Allah SWT berkata, "Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat."
  • Disunahkan bersujud di saat membaca atau mendengarkan ayat sajadah. Dengan syarat telah suci sebagaimana ketika melaksanakan sholat
  • Disunnahkan membaca dengan tartil dan tidak tergesa-gesa. Karena sebenarnya tidak hanya perintah membaca saja melainkan memahami, menyerapi dan menyelami kandungan maknanya. "...dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan."
  • Membaca atau mendengarkan dengan khusyu dan tawadhu' hingga benar-benar menyerap dan menancap dalam hati. Sampai benar-benar terpancar kesempurnaan iman. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." Bahkan tidak terasa airmata menetes, menangis disebabkan dorongan iman yang sempurna. Suatu saat Ibn Mas'ud diminta oleh Rasulullah saw membaca al-Quran untuknya. Awalnya Ibn Mas'ud menolak dengan bertanya, "ya Rasulullah, bagaimana aku akan membaca untukmu sementara kepadamulah al-Quran diturunkan." Maka Nabi saw pun menjawab, "sungguh saya senang mendengarkan bacaan al-Quran selain dari diriku." Walhasil, Ibn Mas'ud pun mulai membaca surat an-Nisa. Namun ketika sampai pada ayat... "Maka Bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu [299])." Meleleh air mata Rasulullah saw, tidak terasa beliaupun menangis teringat tugasnya yang begitu berat di bumi ini. Karena seorang Nabi kelak menjadi saksi atas perbuatan tiap-tiap umatnya, Apakah perbuatan itu sesuai dengan perintah dan larangan Allah atau tidak.
  • Disunnahkan doa ketika menghatamkan al-Quran, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw, "siapa saja yang menghatamkan al-Quran maka doanya dikabulkan."

Guru Ngaji Kyai Dachlan Salim Zarkasyi


PDF Print E-mail
Written by santri mbeling
Tuesday, 20 October 2009 11:27

1. Mbah Nur

Ketika masih berusia anak-anak, Kyai Dachlan belajar mengenal huruf hijaiyah dan membaca huruf-huruf al-Quran dengan Beliau (mbah Nur) di langgar/mushalla.

Mbah Nur adalah guru pertama Kyai Dachlan. Meskipun seorang tuna netra, beliau adalah seorang hafidz al-Quran.

2. Kyai Asror

Guru Kyai Asror adalah Kyai Badawi, sementara guru Kyai Badawi adalah Syeh `Abdullah. Kyai Asror adalah putra dari K.H. Ridwan yang mana Istri Kyai Ridwan merupakan Adik dari Kyai Badawi. Kyai Ridwan adalah sosok yang rajin dan istiqamah membaca al-Quran, meski tidak hafidz al-Quran atau bahkan sudo rungu, beliau dapat menyimak dan mengoreksi seseorang yang ngaji.

Kyai Asror berasal dari Pungkuran, Kauman, Kaliwungu. Meninggal pada tahun -/+ 1978 M. di pondok beliaulah Kyai Dachlan nyantri.

3. Kyai Abdullah Umar

Kyai Abdullah Umar berasal dari Kauman, Semarang. Beliau seorang hafidz al-Quran. Sanadnya diperoleh dari Kyai Munauwir Krapyak, beliau juga belajar al-Quran dengan baik pada Kyai Arwani, Kudus.

Kyai Abdullah Umar tidak memiliki pondok pesantren layaknya para santri-santri lain yang sukses belajar di pondok, namun beliau tetap mengamalkan ilmunya, yakni dengan membuka pengajian di masjid Kauman Semarang. Selain itu beliau juga sempat menulis buku “Qiraatu ar-rasyidah” yang membahas uraian gharib musykilat.

Di majlis inilah Kyai Dahlan menimba Ilmu dari Beliau. Dan dari beliau pula Kyai dahlan diperkenalkan dengan Kyai Arwani (Kudus) yang kemudian mentashih Qiraati.

4. Kyai Turmudzi

Beliau berasal dari Demak, Jawa Tengah namun setelah menikah beliau tinggal di Kauman. Selain Kyai Arwani dan Kyai Abdullah Umar, beliau juga termasuk yang ikut mentashih Qiraati, bahkan hingga pada pemenuhan bahasa Arabnya.

Guru beliau adalah Kyai Muhammad. Lalu siapa Kyai Muhammad tersebut. Ternyata selidik punya selidik, bahwa Kyai Turmudzi adalah keponakan istri dari Kyai Muhammah. Istri Kyai Muhammad bernama Bunyai Fatimah, beliau menghafal al-Quran setelah menikah dengan Kyai Muhammad.

Sabtu, 15 Agustus 2009

QIRAATI DI PAPUA

Sedikitnya 17 santri dan santriwati se Kabupaten Biak Numfor, Papua, Minggu, mengikuti "khataman" (menamatkan) bacaan Al-Qur`an dengan metode qiraati yang pertama kalinya diadakan di Masjid Al-Mukminin Biak.

Biak, 31/5 (Roll Sports) - Sedikitnya 17 santri dan santriwati se Kabupaten Biak Numfor, Papua, Minggu, mengikuti "khataman" (menamatkan) bacaan Al-Qur`an dengan metode qiraati yang pertama kalinya diadakan di Masjid Al-Mukminin Biak.

Acara khataman qiraati dihadiri sekitar 400 orang kaum muslim dari sejumlah kampung dan distrik dengan menampilkan atraksi santri menjawab berbagai pertanyaan para tokoh agama Islam maupun Ketua Pengadilan Agama Biak, Drs Syamsul Bahri SH, MH.

Ustad Riyanto, salah pengajar metode qiraati, mengatakan metode qiraati atau belajar membaca Al-Qur`an secara bacaan yang tepat itu baru berjalan tiga tahun di Taman Pendidikan Al-Qur`an (TPQ).

"Metode qiraati sudah dipelajari para santri di TPQ. Tahapan dalam metode qiraati dimulai dengan mengenal huruf, membedakan panjang pendek bacaan, hingga membaca cuplikan ayat Al-Qur`an," katanya.

Ia menyebutkan membaca Al-Qur`an dengan metode qiraati itu memberikan kemudahan dan mendorong para santri dapat dengan tepat menyebut huruf Alquran.

"Dengan belajar qiraati diharapkan menambah ilmu pengetahuan dan juga dapat menanamkan wawasan keislaman kepada anak-anak sejak usia dini. Mari kita kembangkan wawasan keislaman putra-putri kita sejak usia dini," katanya.

Sementara itu, Ustad Abdul Wahid, pemuka agama Biak, mengingatkan agar umat Islam terus memperkuat serta meningkatkan pendidikan keislaman anak-anaknya dengan menanamkan pendidikan keislaman sejak dini melalui belajar Al-Qur`an dengan qiraati.

"Metode qiraati meski baru diterapkan di kalangan santri tetapi saat ini menghasilkan lulusan perdana mencapai 17 orang, ya sebagai orang tua tentu sangat bersyukur karena putra putrinya mampu membaca Al-Qur`an berdasarkan tajwid yang benar," katanya.

Di tengah hunaj yang mengguyur kota Biak, acara khataman qiraati belasan santri di Kabupaetn Biak Numfor berjalan dengan hikmad.(M039/

Sabtu, 06 Juni 2009

MBAH DACHLAN KYAI YANG SANTUN

“Kekasyafan, kekaromahan, dan power kewalian seseorang justru terkadang lebih tampak setelah ia meninggal.” (Imam Ghazali). Memperbincangkan KH. Dahlan Salim Zarkasyi, tentu kita tidak bisa lenggang begitu saja tanpa menyinggung Metode Qiraati, sebagai hasil penelitiannya (selama kurang lebih sepuluh tahun) di bidang pengajaran baca al Quran. Sementara mendiskusikan Metode Qiraati pula kita tidak bisa meninggalkan aturan main baca al Quran (ilmu Tajwid). Al Quran adalah kalam Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril, dan diteruskan kembali kepada umat seluruh alam. Kitab suci, sebagai kebenaran kerasulan Muhammad saw, tertulis dalam bentuk mushaf yang mutawatir, juga muta’abbad bi tilawatih (berpahala jika dibaca). Diturunkan secara berangsur selama kurang lebih dua puluh tiga tahun dalam dua periode, Makah dan Madinah. Dalam kurun waktu lebih dari 14 abad lamanya Kitab Suci tersebut dibaca dan dipelajari. Dibaca karena sebagai petunjuk dan obat (hudan wa syifa), sedang dipelajari guna meraih petunjuk dan obat. Yang membaca dia akan mendapatkan petunjuk, yang mempelajari dia akan menemukan obat / formula, sedangkan yang membaca dan mempelajarinya dia akan sampai pada keduanya, yakni petunjuk dan obat / formula. Salah satu obat atau formula adalah lahirnya ilmu Tajwid. Tajwid terambil dari jawwada, berarti pembagusan atau perbaikan bacaan. Kata ini mengisyaratkan pada kita bahwa “perbaikan” adalah sebuah kewajiban. Kewajiban yang tiada henti. Usaha secara terus menerus yang mungkin tiada akhir. Namun ukurannya bisa sangat sederhana yaitu hari ini lebih baik dari hari kemarin. Makna tajwid secara teknis menjadi, mengucapkan setiap huruf secara benar hingga tidak meninggalkan sifat-sifatnya, seperti istifal-isti’la’, hams, dan jahr. Juga syiddah-rakhawah dimana saat melafadzkannya akan muncul ketentuan-ketentuan seperti tarqiq-tafkhim, idhar-idgham, mad dan lain sebagainya. Karena itu, mengetahui tajwid adalah menumbuhkan seni baca Kitab Allah, melestarikan keindahannya dengan ke-fashih-an dari awal baca sampai akhir dan berhenti (waqaf). Dengan demikian, yang ngaji akan terjaga lisannya dari kesalahan dan berpahala. Begitulah kiranya Ibn Jazari (751-833 H.) berpendapat bahwa hukum membaca al Quran dengan mujawwad murattal adalah wajib. Pendapat ini beliau rangkum dalam barisan syair merentang sepanjang bait 71-74 dalam karya monumentalnya Matan Jazariyah : ?????? ???????? ??? ???? * ?? ?? ???? ?????? ??? ???? ?? ????? ????? * ????? ??? ????? ???? ?? ????? ?????? ???? * ?? ??? ??? ???????? ????? ?? ??? ?? ???? * ?????? ?? ????? ??? ???? Sedangkan Metode Qiraati adalah sebuah cara mengajar baca al-Quran secara baik dan benar (mujawwad murattal). Metode ini terangkum dalam bentuk buku-buku kecil berkelompok yang disesuaikan dengan kaidah ilmu Tajwid. Karena itu, siapapun yang membaca buku tersebut akan menemukan sebuah harapan, bahwa ia akan dapat membaca secara mujawwad murattal. Membaca tanpa meninggalkan kaidah-kaidah yang telah digariskan oleh ilmu Tajwid, meskipun orang tersebut belum pernah belajar ilmu Tajwid. Namun perlu disadari, sebaik apapun sebuah metode mengajar cara baca al Quran jika tidak diimbangi dengan guru-guru yang baik maka hasilnya pun kurang maksimal. Demikianlah yang dinginkan KH. Dachlan Salim Zarkasyi, yakni, mencetak anak-anak yang baik (bacaannya) melalui guru-guru yang baik (bacaannya) pula. Inilah salah satu alasan manarik kenapa biografi beliau diperbincangkan. Pada awalnya KH. Dahlan Salim Zarkasyi sendiri kurang setuju perihal hukum baca al Quran dengan baik dan benar adalah fardlu ‘ain (semacam beban hukum (kewajiban) yang dikenakan pada setiap orang). Sementara mempelajari Ilmu Tajwid adalah fardlu kifayah (gugurnya beban hukum (kewajiban) yang jika ada seseorang telah melakukan). “Bagaimana mungkin seseorang dapat membaca al Quran dengan baik dan benar jika tidak mengetahui hukum tajwidnya.” Pertanyaan ini kemudian Beliau ajukan ke beberapa Kyai ahli al Quran di Jawa Tengah. Dari sini beliau dapat bekal berupa bukti-bukti dan argumentasi yang kemudian dijadikan sebagai dasar pola penyusunan Buku Metode Qiraati. Hal lain yang patut kita perhatikan dari KH. Dachlan Salim Zarkasyi adalah mengenahi kritiknya terhadap dunia pendidikan. Sebagian besar guru masih menganggap bahwa anak adalah objek pendidikan, bukan pelaku. Padahal sebenarnya mereka adalah pelaku, yang belajar bukan yang diajar. Karena jika anak-anak sebagai pelaku, maka setiap anak memiliki kesempatan untuk bisa. Kemampuan untuk menyerap ilmu yang disampaikan para guru. Oleh karena itu, KH. Dachlan Salim Zarkasyi menyimpulkan bahwa tidak ada anak yang tidak bisa belajar, tapi yang ada adalah guru yang tidak bisa mengajar. Karena itu jangan heran jika di “lingkungan” Qiraati kualitas guru sangat diperhatikan. Saya pernah bertanya mengenahi damonan, resep keberhasilan Beliau dalam mengajar. Ternyata, jawabannya pun sangat sederhana. Jauh, di luar apa yang saya pikirkan. Selain seorang guru harus selalu sabar, syukur, dan ikhlas. Seorang guru juga harus mampu mengatakan bahwa, “aku butuh mengajar.” Sabar, syukur, dan ikhlas. Tiga kata ini memang sangat mudah dikatakan, mungkin tak semudah pelaksanaannya. Tapi jika ada kemauan, toh jalan pasti akan terbuka. Jika kita mau merenung sebentar, Tiga sifat tersebut memang sudah seharusnya dimiliki siapa saja yang berjiwa “mendidik.” Sikap (sabar, syukur, dan ikhlas) ini merupakan buah dari bentuk tirakat seorang pendidik. Tirakat adalah meninggalkan hal-hal yang selayaknya tidak dimiliki, dilakukan, atau dibiasakan oleh seseorang. Di sini, bukan ketika sifat itu harus ditinggalkan, melainkan guru seyogyanya membuang jauh-jauh sikap-sikap yang berlawanan dengan ketiga sifat tersebut. Ketiga sifat itu harus selalu ditumbuhkan dan dijaga. Singkatnya, jika ketiga sifat ini dipraktekkan, maka orang tersebut akan segera menyadari posisi sebenarnya. Bahwa tugas guru hanyalah menemani dan mengarahkan, bukan yang menentukan atau pemberi otoritas ilmu. Dengan demikian, jika proses belajar selesai, semua dititipkan dan diserahkan kembali kepada Allah Yang Maha berilmu. Maka yang terjadi seorang guru tidak akan pernah lewat mendoakan murid-muridnya. Karena itu wajar jika keberhasilan KH. Dahlan Salim Zarkasyi selalu diiringi dengan sikap tawadlu’ yang selalu kita ketahui dari dawuh-dawuh Beliau, “ini semua inayah (pertolongan) Allah…, ini semua kersane (kehendak) Gusti Allah…”. “Aku butuh mengajar.” Pernahkan kita berpikir demikian, terucap di dalamnya hati. Coba kita renungkan pesan KH. Dahlan Salim Zarkasyi ini. Siapapun yang butuh, dia akan tergerak dan bangkit. Berusaha meraih sekuat tenaga terhadap apa yang ia butuhkan. Pesan tersebut bukanlah sembarang pesan, tapi sebuah motivasi tingkat tinggi. Saudara, renungkanlah! *** Tidak banyak pola penulisan biografi dibungkus dengan kado ala cerpen (cerita pendek) seperti buku yang ada di tangan pembaca saat ini. Tampil dengan wajah yang berbeda, buku ini mengikat dan seperti tidak mau meninggalkan setiap detik yang telah dilakoni KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Abu bakar dengan gayanya sendiri, lincah dan berhasil menampilkan kembali setiap kisah dari KH. Dachlan Salim Zarkasyi menjadi nyata dan hidup. Capek dan berkeringat. Empati dan menggugah. Maju dan menerobos. Pilihan kata yang cerdas juga telah mengungkap kepermukaan sisi-sisi lain kehidupan KH. Dachlan Salim Zarkasyi selain sebagai guru ngaji. Lugas bertutur namun sederhana, membuat buku ini mudah diikuti dan diingat. Membaca biografi ini, anda akan mendapatkan banyak pelajaran. Di setiap tema yang disuguhkan mengandung hikmah yang menggugah kesadaran kita yang terpendam. Sehingga rasanya eman melewatkan meskipun hanya satu anak judul. Lihat saja di setiap bagian-bagiannya, dimana dengan sengaja pola penulisan dikelompokkan se-demikian rupa supaya pembaca lebih mudah mengenali KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Sementara dibagian akhir pembaca akan mendapati gambar-gambar dan rujukan-rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan supaya pembaca sekalian lebih yakin tentang sosok penemu Metode Qiraati. Buku “Aku Butuh Mengajar, Dachlan Salim Zarkasyi Bapak TK al Quran” ini adalah buku awal untuk memperkenalkan pribadi yang gigih, peneliti yang ulet, seorang Ayah yang berteman, sederhana, empati, dan cinta dunia anak. Pada bagian awal dan kedua mengisahkan tentang kegigihan dan keuletan Dachlan kecil. Suasana politik yang kacau dan negara dalam penjajahan, mengakibatkan perekonomian bangsa ambruk terseok-seok. Kondisi inilah yang merebut keindahan masa kanak-kanak dan remajanya. Ia harus bersabar karena bekerja, meskipun pada penjajah. Kemudian, pertemuannya dengan para Kyai Sepuh membuat perubahan total dalam berpikir dan menyikapi kehidupannya. Apalagi setelah menyaksikan di beberapa tempat, musolla-musolla, masjid-masjid, dan tempat-tempat pengajian lain masih dijumpai banyaknya kesalahan dalam membaca al Quran. Hal inilah yang menggerakkan Beliau untuk meguru dan menyulap rumahnya menjadi laboratorium. Setelah sepuluh tahun melakukan penelitian, uji coba lapangan, Beliau menemukan satu formula. Suatu susunan bentuk tetap. Satu rumusan cara mengajar baca al Quran dengan baik dan benar. Kontan, semua pekerjaan dan kesibukan yang menggelayut pada pundaknya, Beliau tinggalkan. Walaupun sebagai pedagang beliau sukses. Meski sebagai tukang pijat beliau pun telah dipercaya. Pembaca dapat menyimak cerita ini pada bagian ketiga sampai ke lima. Ada beberapa kemungkinan kenapa muncul rasa empati pada hati kita. Empati adalah keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Rasa ini muncul jika kita menyadari betul bahwa kehidupan ini adalah amanah. Titipan yang tidak kemudian kita gunakan dengan semau-maunya. Tapi menggunakannya sebagai bahan pertanggungjawaban kelak di hadapan Sang Khaliq. Rasa ini juga dapat muncul jika dalam kehidupan seseorang pernah di-ampiri kepayahan, kesulitan, atau persoalan lain yang bebannya sama. Sikap empati yang dipraktekkan KH. Dachlan Salim Zarkasyi dengan keberpihakkannya pada para tunanetra yang ditampung dirumahnya adalah bukti keberhasilannya menghayati makna amanah kehidupannya, baca bagian keenam sampai ketujuh. Tidak cukup disitu, beliau juga mengajari para tunanetra itu dengan belbagai ketrampilan yang kelak dapat menopang kehidupan mereka, tanpa harus meminta lagi belas kasihan pada orang lain. Juga tetang konsep bersedekah Beliau yang justru sering diremehkan orang. Tepat dibagian akhir, pembaca akan menikmati beberapa cerita unik sebagai hidangan penutup. Banyak yang mengatakan bahwa KH. Dachlan Salim Zarkasyi meiliki daya linuwih. Fakta telah banyak berbicara, dimana kasus-kasus terjadi bukan karena kebetulan semata. Justru sebaliknya, kejadian-kejadian janggal tersebut semakin menjelaskan bahwa beliau “tajam rasa” atau ngerti sak durunge winarah, tahu sebelum hal itu terjadi. Suatu saat, setelah Beliau menerima tamu, Beliau pernah berujar pada putra-putrinya, “tamu-tamu itu akan lebih banyak lagi setelah aku meninggal.” Akhirnya, meskipun lebih terkesan sebagai catatan berserak, semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, juga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sosok KH. Dachlan Salim Zarkasyi. Bagi mereka yang kebetulan bergelut dibidang yang sama, yakni sebagai guru ngaji, semoga buku ini bisa menjadi semacam inspirasi. Jakarta, 20 Dzul Qa’dah 1428 H. /29 November 2007 Abdullah Hadlir

Kamis, 07 Mei 2009

Menggagas Paradigma KH. Dahlan Salim Zarkasyi

Keharusan membaca al-Quran dengan tartil
Sejalan dengan institusionalisasi pengajaran al-Qur’an (setelah proses unifikasi bacaan al-Qur’an), berkembang ilmu spesifik pembacaan al-Qur’an yang dikenal sebagai tajwid (dari kata jawwada, membuat sesuatu menjadi lebih baik).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn4 Lebih jauh lagi, ash-Shaffat mengutip dari syarh jazariyah dan al-Itqan mengungkap empat cara baca yang dianggap bid’ah.
Pertama, at-tar’id (berguruh) yakni mengguruhkan suara sebagaimana orang kedinginan atau kesakitan. Kedua, at-tathrib (kegirangan), merupakan lawan dari yang pertama, membaca dengan “mendendang” hingga melalaikan yang seharusnya dibaca pendek-dipanjangkan atau sebaliknya karena gramatika bahasa Arab tidak pernah membolehkannya. Ketiga, at-tahzin (ekspresi sedih), kurangnya menghayati sisi dalam makna al-Qur’an. Keempat, at-tarqish (menari-nari/banyal gerak) hendaknya membaca dengan diam dan menghayati.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn5 Oleh karenanya benar kiranya jika Ibnu al-Jazari (w. 833/1429) menghukumi ‘wajib’ menggunakan Ilmu Tajwid dalam membaca al-Qur’an demi menjaga keagungan Kitab Suci selain menjadi kitab yang ditafsirkan juga kitab yang dibaca. Dalam karyanya Matan Jazariyah tepatnya pada bait ke-27 berbunyi :
والأخد بالتجويد حتم لازم * من لم يجود القرأن اثم
“Menggunakan atau mengamalkan Ilmu Tajwid merupakan kewajiban yang pasti (fardhu ‘ain), siapa saja yang tidak memperbaiki bacaan al-Qur’an ia melakukan sebuah kesalahan (dosa).”http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn6
Dalam hasanah literatur Islam, selain Tajwid, terdapat beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu spesifik pembacaan al-Qur’an, yaitu:
a. Tartil, berasal dari kata rattala, “melagukan,” “menyanyikan,” yang pada awal Islam hanya bermakna pembacaan al-Qur’an secara melodik, menjelaskan bahwa tartil mencakup pemahaman tentang pausa dalam pembacaan dan artikulasi yang tepat huruf-hurf hijaiyah. Dewasa ini, istilah tersebut tidak hanya merupakan suatu terma generik untuk pembacaan al-Qur’an, tetapi juga merujuk kepada pembacaannya secara cermat dan perlahan-lahan. Selain tiu ada dua kategori lain metode membaca al-Qur’an, adalah hadr, pembacaan secara cepat, dan tadwir, pembacaan dengan kecepatan sedang.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn7
b. Tilawah, berasal dari kata tala, “membaca secara tenang, berimbang dan menyenangkan.” Di masa pra-Islam, kata ini digunakan untuk merujuk pembacaan syair. Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana pendengungan atau pelaguan yang disebut tarannum.
c. Qira’ah, berasal dari kata qara’a, “membaca,” yang mesti dibedakan penggunaannnya untuk merujuk keragaman bacaan al-Qur’an. Di sini, pembacaan al-Qur’an mencakup hal-hal yang ada dalam istilah-istilah lain, seperti titi nada tinggi rendah, penekanan pada pola-pola durasi bacaan dan lain-lain.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn8
Secara historis, pembacaan al-Qur’an (sebagaimana dituju dalam Tajwid) telah dimulai pada masa awal Islam. Muhammad Talbi mengemukakan bahwa generasi pertama Islam telah melantunkan al-Qur’an dengan lagu yang sangat sederhana.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn9 Tetapi, setelah berkembang menjadi suatu disiplin, ilmu tentang seni baca al-Qur’an ini telah menjadi basis teoritis dan praksis pengajaran al-Qur’an di berbagai belahan dunia Islam.
Ada banyak sekali karya teknis yang sudah diterbitkan selama berabad-abad, yang erat berkaitan dengan bidang-bidang pembahasan tentang ragam bacaan al-Qur’an (qira’ah) dan cara-cara membaca al-Qur’an secara benar (tajwid). Ilmu-ilmu ini telah sampai pada tingkat kematangannya pada abad ke-4 H./10 M., seperti yang ditujukkan oleh beberapa risalah mengenainya, dan terus dikembangkan serta diartikulasikan hingga mencapai tingkat yang tertinggi dalam hal pengungkapannya secara sistematis dan komprehensif dalam karya-karya Ibnu al-Jazari (w. 833/1429).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn10 Karya-karya ini lebih mengkonsentrasikan diri pada aliran-aliran bacaan, penguasaan atas huruf-huruf atas suara-suara (dan teknik-teknik menghasilkannya lewat aparat-aparat vokal), perhentian dan permulaan (al-waqf wa al-ibtida’), percampuran suara (idgham), persengaungan (ghunnah), dan lain-lain. Selain itu bahan-bahan ini sekali-kali menyertakan pendahuluan yang berisi pembahasan mengenai adab membaca al-Qur’an, seperti kapan harus berhenti membaca, apa yang harus dilakukan ketika kita telah khatam al-Qur’an, tempat-tempat dan waktu-waktu mana yang dianjurkan untuk membaca al-Qur’an, apa manfaat al-Qur’an dan membacanya dan lain-lain.
Selain buku-buku para sarjana Muslim yang membahas mengenai beberapa aturan teknis membaca al-Qur’an (seperti Ibn al-Jazari, asy-Syatibi, as-Suyuti dll.) juga terdapat sebuah karya cukup komprehensip menjelaskan tentang adab membaca al-Qur’an. At-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, karya dari Muhyi al-Din Abu Zakariya Yahya al-Hizami al-Dimasyqi (631-676 H./1233-1277) M.).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn11
b. Perkembangan Metodologi mengajar baca al-Quran
Nabi Muhammad saw. Bersabda,
“Belajar al-Qurán-lah dari empat orang, yakni Abdullah Ibnu Masúd, Salim bin Ma’qil, Muádz, dan Ubay bin Kaáb”. http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn12
Empat sahabat yang telah direkomendasikan Nabi tersebut dalam beberapa catatan sejarah memang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan yang lain. Misalnya Ubay bin Ka’ab adalah seorang Anshar dari Banu Najjar. Ia merupakan salah seorang yang mengkhususkan diri dalam mengumpulkan wahyu. Dalam beberapa hal, otoritasnya tentang masalah-masalah al-Qur’an bahkan lebih besar dari Ibnu Mas’ud. Selain itu ia juga dikenal sebagai sayyid al-Qurra’ (pemimpin para pelafal/penghafal al-Qur’an).http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn13 Ibnu Mas’ud, ia merupakan salah satu otoritas terbesar dalam al-Qur’an. Hubungannya yang intim dengan Nabi memungkinkannya mempelajari sekitar 70 surat langsung dari mulut Nabi. Riwayat mengungkapkan bahwa ia merupakan salah seorang yang pertama kali membaca bagian-bagian al-Qur’an dengan suara lantang dan terbuka di Makkah, meskipun banyak tantangan dari orang Quraisy.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn14
Empat sahabat tersebut disamping memiliki kelengkapan data al-Quran juga kompetensinya dalam hal teknis, meskipun pada masa ini, problem qira’ah (pola baca) lebih mendominasi dibandingkan dengan masalah kefashihan atau teknis (tajwid). Imam Suyuti mengomentari bahwa hal ini disebabkan karena para sahabat memiliki tingkat kefashihan yang cukup, selain itu al-Qur’an diturunkan dengan bahasa mereka.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn15 Namun demikian, dalam hal teknis Nabi tidak pernah melewatkan nasihat-nasihat (stimulasi) terhadap sahabat-sahabatnya. Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah berbunyi:
Nabi bersabda, “Siapapun yang menginkan belajar al-Qur’an dengan baik sebagaimana diturunkan, maka hendaklah membaca sebagaimana qira’ah Ibnu Ma’ud. Yakni dia yang diberikan karunia yang agung oleh Allah dalam menjaga keindahan (tajwid) al-Qur’an.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn16
Sebuah Hadits diriwayatkan oleh Hakim dengan silsilah shahih dari al-Bani berbunyi:
Rasulullah saw. bersabda, “Gunakanlah suara terbaikmu untuk membaca al-Qur’an, karena dengan suara indah itu akan menambah keindahan pada al-Qur’an.”http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn17
Nabi juga tak henti-hentinya memberikan stimulasi-stimulasi pada para sahabatnya agar lebih giat membaca, mengamalkan serta mengajarkan al-Qur’an. Hadis yang diriwayatkan oleh Usman bin ‘Affan berbunyi:
Rasulullah saw. berkata: “sebaik-baik kalian ialah orang yang belajaral-Qur’an dan mengajarkannya.”http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn18
Dari stimulasi dan anjuran Nabi tersebut pernah menjadi perhatian dan mendapatkan respon posistif di hati kaum Muslimin. Pada awal abad ke 8 H. kaum Muslimin mulai mengajarkan anak-anak mereka menghafalkan al-Qur’an. Praktek semacam ini biasanya dihubungkan dengan hadis-hadis tertentu Nabi atau dengan praktek generasi awal. Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi’I (w. 820 H.), pendiri mazhab Syafi’iyah, misalnya, dikabarkan telah menghafal secara keseluruhan al-Qur’an ketika berusi tujuh tahun. Bahkan terdapat penekanan yang tegas pada pentingnya pembelajaran al-Qur’an dalam usia belia. Dikabarkan bahwa salah satu khalifah banu Umaiyah, Hisyam bin Abdul Malik (w. 743 H. ), setelah menunjuk Sulaiman bin al-Kalbi sebagai tutor agama anaknya, memberinya petuah: “Nasihatku yang pertama kepadamu adalah upayakanlah agar ia (anak-anakku) belajar Kitab Allah. Setelah itu barulah Engkau bisa menyampaikan kepadanya karya-karya puitis pilihan.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn19
Dengan demikian, jelas, tradisi kaum Muslimin memberikan tempat yang sangat khusus kepada pembacaan atau penghafalan al-Qur’an. Asy-Syatibi (w. 590 H.) misalnya, dalam sistem pengajaran al-Qur’an dan Qiraah mengharuskan murid-muridnya yang hendak mengajarkan al-Qur’an menghatamkan secara keseluruhan tiga kali pembacaan al-Qur’an menurut masing-masing qiraah dalam bacaan tujuh –setiap kalinya menurut dua versi (riwayah) dari tiap-tiap qiraah-, kemudian sekali lagi dengan mengumpulkan kedua versi itu secara bersama-sama (jam’). Jauh sebelum masa asy-Syatibi, tuntunan yang diajukan pengajar al-Qur’an lebih berat lagi. Al-Hushri (w. 486 H.), mengharuskan 70 kali penghataman tujuh bacaan kanonik. Di samping itu, dalam proses pembelajaran ini, mata rantai periwayatan tiap-tiap qiraah mesti dikuasai.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn20
Selama berabad-abad telah muncul di berbagai wilayah Islam sekolah-sekolah khusus yang mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak kaum Muslimin, baik dengan tujuan agar mereka “melek” baca al-Qur’an atapun mampu menghafalkannya. Secara historis, sekolah semacam itu pertama kali diinstruksikan pembangunannya oleh khalifah umar bin al-Khattab. Sebelumnya, pengajaran al-Qur’an bagi anak-anak hanya merupakan urusan pribadi kaum Muslimin, dan biasanya orang tua mengajarkannya secara private.http://www.qiraati.org/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=29 - _edn21

METODE QIRAATI


1. Tujuan Metode Qiraati
  • Menjaga dan memelihara kehormatan dan kesucian Al-Quran (dari segi bacaan tartil sesuai dengan kaidah tajwid)
  • Menyebarkan Ilmu Bacaan Al-Quran yang benar dengan cara yang benar
  • Mengingatkan para guru Al-Quran agar berhati-hati dalam mengajarkan Al-Quran
  • Meningkatkan kualitas pendidikan atau pengajaran Al-Quran

2. Target Qiraati

Murid mampu membaca Al-Quran secara tartil sesuai dengan Kaidah Tajwid yang telah dicontohkan dan diajarkan Rasulullah Muhammad Saw. secara mutawatir dengan uraian sebagai berikut:
Dalam waktu -/+ 2 tahun anak-anak sudah mampu khatam 30 juz (binnazhar):
  1. Makhraj sebaik mungkin
  2. Mampu membaca Al-Quran dengan bacaan yang bertajwid
  3. Mengenal bacaan gharib dan musykilat (bacaan-bacaan yang asing)
  4. Hafal (faham) ilmu tajwid praktis
  5. Mengerti shalat, bacaan dan praktisnya
  6. Hafal surat-surat pendek minimal sampai Surah Adh-Dhuha
  7. Hafal doa-doa pendek
  8. Mampu menulis Arab dengan baik dan benar

3. Sistem/Aturan Metode Qiraati
  • Membaca langsung tanpa mengeja
  • Praktek bacaan bertajwid secara mudah dan praktis
  • Susunan materi bertahap dan berkesinambungan
  • Materi disusun dengan “Sistem Modul/Paket”
  • Banyak latihan membaca (drill)
  • Belajar sesuai dengan kesiapan dan kemampuan murid
  • Evaluasi setiap pertemuan
  • Belajar dan mengajar secara “Talaqqi - Musyafahah”
  • Guru Pengajarnya harus ditashih (Ijasah billisani)

4. Prinsip Dasar Metode Qiraati

Prinsip bagi Guru:
  • DAKTUN (Tidak-boleh-Menuntun)
  • TIWASGAS (Teliti-Waspada-Tegas)
Prinsip bagi Murid:
  • CBSA+M (Cara-Belajar-Siswa-Aktif dan Mandiri)
  • LCTB (Lancar : Cepat, Tepat dan Benar)

5. Filosofi Metode Qiraati
  • Sampaikan materi pelajaran secara praktis, simpel dan sederhana (mudah dipahami oleh murid), jangan terlalu rumit dan berbelit-belit (Imam Ghazali)
  • Berikan materi pelajaran secara bertahap, dengan penuh kesabaran (K.H. Arwani Amin, AH.)
  • Jangan mengajarkan yang salah kepada anak-anak, karena mengajarkan yang benar itu mudah (K.H. Dachlan SZ.)

Minggu, 03 Mei 2009

No Makhraj Makhraj انفتاح استفال جهر شدة همس رخاوة استعلاء تفشى اطباق استطالة
1 جوف rongga dada ا و ى
2 اقصى الحلق tenggorokan paling bawah ء هـ ء هـ ء ء ء هـ
3 وسط الحلق tenggorokan bagian tengah ع ح ع ح ح ح ع ح
4 ادنى الحلق للفم tenggorokan yang dekat dengan mulut غ خ غ غ خ غ خ
5 اقصى اللسان مما بلى الحلق وما فوقه من الحنك lidah paling bawah dan diatasnya dari langit2 ق
6 اقصى اللسان من اسفل مخرج القاف قليلا وما يليه من الحنك sedikit diatas makhraj qaf ك
7 وسط اللسان بينه و بين وسط الحنك lidah bagian tengah dan langit2 bagian tengah ج ش ي ج ش ي ج ي ج ش ش ي ش ج ش ي
8 اول حافة اللسان وما يليه من الاضراس من الجانب ujung tepi lidah dan gusi samping bagian dalam ض ض ض ض ض ض
9 حافة اللسان من ادناها الى منتهى طرفه وما بينها و بين يليها من الحنك الاعلى ujung lidah dan langit2 ل
10 طرف اللسان اسفل مخرج اللام قليلا sedkit diatas makhraj lam ن
11 مخرج النون لكنها ادخل فى ظهر اللسان ر
12 طرف اللسان و اصول الثنايا العليا مصعدا الى جهة الحنك ujung lidah dan pangkal gigi seri atas yg berbatasan dengan langit2 د ت د ت ط د ط د ت ت ط ط ط د ت
13 بين طرف اللسان و فويق الثنايا السفلى ujung lidah dan bagian atas gigi seri bawah ز س ز س ز ص س ز ص س ز
14 بين طرف اللسان و اطراف الثنايا العليا ujung lidah dan ujung gigi seri atas ث ذ ث ذ ظ ذ ث ظ ث ذ ظ ظ ظ ث ذ
15 باطن الشفة السفلى و اطراف الثنايا العليا bibir bawah dan ujung gigi seri atas ف
16 بين الشفتين diantara 2 bibir ب م و
17 الخيشوم hidung ن م